dita oktaria
Kemuliaan Mencari Nafkah untuk Keluarga
Allah berfirman:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَاهُ اللهُ لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَآءَاتَاهَا
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَاهُ اللهُ لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَآءَاتَاهَا
“Hendaklah orang yang mampu, memberi
nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya,
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa
yang Allah berikan kepadanya ”
[ath Thalaq / 65:7]
Sebuah kisah Rasul: betapa mulianya mencari nafkah utk keluarga
Diriwayatkan pada saat itu Rasulullah
baru tiba dari perang Tabuk, Banyak sahabat yang ikut beserta Nabi dalam
peperangan ini. Tidak ada yang tertinggal kecuali orang-orang yang
berhalangan dan ada uzur.
Saat mendekati kota Madinah, di salah
satu sudut jalan, Rasulullah berjumpa dengan seorang tukang batu. Ketika
itu Rasulullah melihat tangan buruh tukang batu tersebut melepuh,
kulitnya merah kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari.
Rasulullah bertanya, “Kenapa tanganmu kasar sekali?”
Si tukang batu menjawab, “Ya Rasulullah, pekerjaan saya ini membelah batu setiap hari, dan belahan batu itu saya jual ke pasar, lalu hasilnya saya gunakan untuk memberi nafkah keluarga saya, karena itulah tangan saya kasar.”
Si tukang batu menjawab, “Ya Rasulullah, pekerjaan saya ini membelah batu setiap hari, dan belahan batu itu saya jual ke pasar, lalu hasilnya saya gunakan untuk memberi nafkah keluarga saya, karena itulah tangan saya kasar.”
Rasulpun menggenggam tangan itu, dan menciumnya seraya bersabda,
“Hadzihi yadun la tamatsaha narun abada”, ‘inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya‘.
“Hadzihi yadun la tamatsaha narun abada”, ‘inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya‘.
Subhanallah. Itulah sedikit kisah
mengenai kemuliaan mencari nafkah untuk keluarga. Maka, sebelum kita
lebih jauh mengurusi hal lainnya di dunia, tengoklah dulu kewajiban yang
dekat. Apa kita sudah melaksanakannya dengan baik? Sudahkah
bersungguh-sungguh di bidang kita masing-masing? Jika belum, mengapakah
kita malah sibuk mengurus yang lainnya, sedangkan yang dekat
terlantarkan? Berkacalah, kuman di seberang laut tampak, gajah di
pelupuk mata tak tampak.
“Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla.” (HR. Ahmad)
“Barangsiapa pada malam hari
merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang
hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah.” (HR. Ahmad)
”Siapa saja pada malam hari bersusah
payah dalam mencari rejeki yang halal, malam itu ia diampuni”. (HR. Ibnu
Asakir dari Anas) Atau dalam hadits lain, ”Siapa saja pada sore hari
bersusah payah dalam bekerja, maka sore itu ia diampuni”. (HR. Thabrani
dan lbnu Abbas)
“Sesungguhnya di antara dosa-dosa
itu, ada yang tidak dapat terhapus dengan puasa dan shalat”. Maka para
sahabat pun bertanya: “Apakah yang dapat menghapusnya, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Bersusah payah dalam mencari nafkah.””
(HR. Bukhari)
“Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hambaNya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal.” (HR. Ad-Dailami)
“Sesungguhnya Allah mencintai jika
seseorang melakukan suatu pekerjaan hendaknya dilakukannya secara itqon
(profesional)”. HR Baihaqi dari Siti Aisyah ra.
Ayah, engkau terhubung dengan surga melalui kerja kerasmu. Maka bergembiralah!
Islam dan Nafkah
Engkau ingin berkontribusi untuk islam?
Engkau ingin berjuang di jalan Allah? Engkau ingin jihad? Menurut saya,
jihad tidak harus berarti kita ke medan perang dengan membawa pedang
menghadapi kaum jahiliyah. Siapa yang mengurus generasi-generasi muda
islam yang masih kecil, jika semua yang dewasa mati di medan perang?
Siapa yang akan menjamin esok hari para wanita dan anak-anak Islam bisa
makan? Islam butuh orang seperti itu. Jadilah muslim yang benar-benar
berguna. Jangan gegabah, memandang selintas saja, berfikirlah untuk
jangka panjang. Bandingkan kontribusi yang bisa kau dapat dengan pergi
ke medan perang membawa pedang sekarang, dengan kau menjadi muslim
pintar yang menggunakan otak untuk menghasilkan modal bagi
saudara-saudara jihadmu, bagi investasi islam, bagi wanita, dan terutama
bagi generasi-generasi muda islam. Hitung !
sumber :
http://www.quranhadis.com/2012/06/sebuah-kisah-rasul-betapa-mulianya.html
http://abuzuhriy.com/kewajiban-seorang-suamiayah-memberi-nafkah-kepada-isteri-dan-anak-anaknya-dan-keutamaannya/
http://tbhngajialquran.wordpress.com/2010/05/28/ayat-tijarah-perniagaan/
http://www.suaramedia.com/artikel/kumpulan-artikel/43522-tangan-seperti-inilah-yang-tak-akan-disentuh-api-neraka.html
http://abuzuhriy.com/kewajiban-seorang-suamiayah-memberi-nafkah-kepada-isteri-dan-anak-anaknya-dan-keutamaannya/
http://tbhngajialquran.wordpress.com/2010/05/28/ayat-tijarah-perniagaan/
http://www.suaramedia.com/artikel/kumpulan-artikel/43522-tangan-seperti-inilah-yang-tak-akan-disentuh-api-neraka.html
berkontribusi dalam Islam itu ada banyak sekali jalannya, untuk kita yang tinggal di Indonesia yang damai tak perlu lah mengkoar-koar kan untuk ikut berjihad di daerah konflik seperti palestina, suriah, dll. karena mereka yang tinggal disana pun tidak mengharapkan pejuang2 bantuan, mereka sudah punya para pemuda-pemuda yang siap mati syahid dan banggaa dgn perjuangannya.
perjuangan terberat kita adalah melawan diri kita sendiri, melawan sisi negatif dari manusia, melawan bisikan-bisikan jin/syaiton yang tak akan kita rasakan karena mereka mengalir dalam darah kita da mereka tak akan pernah berhenti sampai kita mati.
ada suatu hadist yang mengatakan, diharamkan api neraka bagi mata manusia yang selalu memperhatikan perkembangan Islam.
sebaik-baik manusia adalah yang mempelajari Al-Quran dan mengamalkannya.
seorang kepala keluarga tanggung jawab nya bukan saja menafkahi keluarganya lahir dan batin, melainkan bagaimana dia mampu mempelajari seluruh isi & kandungan Al-Quran, mengamalkannya dan mewariskan ilmu yang dipelajarinya kepada ahli warisnya sehingga dia bisa mencetak ahli warisnya tersebut sebagai generasi penerus yang bermanfaat dan berkontribusi kepada agama dan bangsanya kelak.