Perang Gaza Risaukan Banyak Yahudi di AS
Banyak yang merasa loyal terhadap negara Yahudi namun merasa pemerintah Israel telah melanggar prinsip-prinsip agama.
Serangan militer Israel ke Gaza telah menewaskan sekitar 2.100 orang
Palestina, banyak diantaranya warga sipil. Hal ini telah memunculkan
kebingungan di antara umat Yahudi di Amerika, yang merasa loyal pada
negara Yahudi tersebut, namun merasa pemerintahan Israel telah melanggar
prinsip-prinsip dasar agama yaitu keadilan dan welas asih."Ada kontradiksi besar antara prinsip-prinsip tersebut dan apa yang dilakukan Israel pada orang-orang Palestina," ujar Rabbi Michael Lerner, editor pendiri majalah Tikkun, sebuah media Yahudi nasional yang didedikasikan untuk perubahan sosial berbasis agama.
Lener mengatakan ia dan banyak Yahudi Amerika merasa patah hati.
"Serangan terhadap Gaza telah menewaskan 2.100 orang, sebagian besar warga sipil, ratusan diantaranya anak-anak, dan penghancuran ribuan rumah dan pengrusakan sistem listrik dan air di Gaza. Hal ini telah merisaukan hati banyak warga Yahudi Amerika," ujar Lerner.
Lerner mengatakan bahwa sebagian besar Yahudi Amerika yakin Israel tidak memiliki pilihan selain menanggapi dengan kekuatan menakutkan terhadap roket-roket Hamas, yang dilaporkan ditembakkan dari sekolah, gedung apartemen, masjid dan pusat-pusat masyarakat sipil lainnya. Namun ia mengatakan Israel dapat memutus lingkaran kekerasan kapan saja.
"Roket-roket itu sebagian besar hanyalah simbolik. Ada empat orang, saya rasa, yang tewas di Israel. Lima puluh atau 60 warga Israel lainnya adalah tentara di Gaza yang tewas akibat serangan ke Gaza. Israel memiliki kekuatan. Hamas tidak," ujar Lerner.
Ammiel Hirsch, rabbi senior di Sinagog Stephen Wise Free di New York, yang memiliki lebih dari 2.000 umat, dan ribuan lainnya yang menerima ceramahnya di Internet, mengatakan demikianlah dilemanya.
"Jika Anda sedang duduk di balkon dan di seberang jalan ada orang yang menembak Anda dari balkonnya dan ia memegang bayi, apa yang harus Anda lakukan?" tanya Hirsch.
Jawabannya, menurut Hirsch, seharusnya jelas.
"Jika seseorang menembakkan roket ke Anda, yang merupakan kejahatan perang, Anda harus melindungi dan membela diri. Bagaimana melakukannya adalah isu yang relevan dan penting, dan ada aturan-aturan perang yang harus diikuti, dan ketika ada akibat, orang harus diminta pertanggungjawaban. Namun ide bahwa Israel ceroboh atau sengaja menarget orang-orang sipil...adalah kebohongan sangat besar yang dibuat oleh mereka yang tidak memiliki kepedulian terhadap Israel," ujarnya.
Kritikan vs. Anti-Semitisme
Kritikan terhadap Israel oleh sejumlah Yahudi Amerika telah dilihat
sebagai pengkhianatan oleh pihak Yahudi Amerika yang lebih konservatif.
Mereka menuduh orang-orang yang bersimpati pada Palestina dalam perang
ini sebagai pembenci diri sendiri atau anti-Semitisme.
Rebecca Vilkomerson, direktur eksekutif Suara Yahudi untuk Perdamaian, mengatakan orang-orang telah melemparkan tudingan itu ke organisasinya, yang memiliki skala nasional.
"Ini adalah salah satu dari masalah-masalah paling berbahaya dalam
komunitas Yahudi Amerika bahwa... membantu mempertahankan kebijakan AS
seperti apa adanya sekarang, yaitu secara tanpa syarat mendukung apapun
yang dilakukan Israel. Ide bahwa kita tidak dapat mengkritik Israel
tanpa dituduh anti-Semitis berarti bahwa Israel sebagai negara memiliki
cek kosong untuk melakukan apa saja," ujar Vilkomerson. “Kami satu-satunya organisasi Yahudi di Amerika yang telah mengambil sikap tegas melawan perang. Kami merupakan tempat nyaman bagi orang-orang Yahudi yang merasa tersesat dan bingung dan marah dan sedih dan ingin menemukan cara untuk berekspresi sebagai Yahudi dan sebagai warga Amerika dalam menentang perang," tambahnya.
Namun lembaganya tidak mendukung Hamas, ujar Vilkomerson.
“Hamas adalah organisasi agama fundamentalis. Mereka membunuh rekan kerja. Mereka memberlakukan hukum syariah. Kami tidak menyenangi perilaku Hamas. Meski demikian, penembakan roket adalah respon yang dapat dipahami jika seseorang berada dalam pendudukan dan pengepungan. Dan fakta bahwa Israel tidak mengakomodasi kebutuhan orang-orang yang tinggal di Gaza berarti bahwa tentu saja orang-orang akan melawan," ujarnya.
Rabbi Hirsch menolak anggapan adanya persamaan moral antara Hamas dan Israel.
"Hamas adalah kelompok teroris anti-Semitis, anti-Barat, anti-feminis, anti-gay, anti Kristen, sementara Israel adalah demokrasi liberal, yang memperjuangkan hidupnya dalam lingkungan yang sangat, sangat buruk.
"Pada saat yang sama, isu ini tidak akan selesai kecuali dengan adanya negosiasi-negosiasi politik dimana kedua pihak akan harus membuat kompromi-kompromi signifikan. Baik Israel maupun Palestina tidak akan pergi ke mana-mana. Mereka tidak memiliki tempat lain untuk pergi," ujar Hirsch.
Untuk saat ini, gencatan senjata antara Israel dan Hamas sedang berlangsung, meski ketegangan tetap tinggi. Sementara Israel dianggap berjaya secara militer dalam konflik tersebut, jajak-jajak pendapat menunjukkan bahwa popularitas Hamas di Jalur Gaza telah melesat.